Om Swastyastu,
Yang terhormat ........
Yang saya hormati .....
Bapak – Bapak dan Ibu – Ibu ….
Rekan – rekan siswa dan siswi, SMA Negeri 1 Rendang....
Putera dan Puteri Indonesia....
Salam sejahtera saya sampaikan kepada para hadirin yang saya cintai tanpa terkecuali. Semoga kita selalu berada di bawah naungan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha esa.
Saudaraku semuanya, sebelum berbicara lebih jauh, ingin rasanya saya bercerita tentang satu pertanyaan yang mengusik saya beberapa hari yang lalu, berkenaan dengan perayaan Bulan Bahasa kali ini. Mengapa tanggal 28 Oktober? Mengapa bukan tanggal yang lain? Ya, mungkin sebagian dari saudara – saudara yang hadir di sini mampu memberikan jawaban yang signifikan, bahwasanya pada tanggal itulah, 83 tahun yang lalu, putera dan puteri Indonesia yang tergabung dari berbagai suku dan etnis bersatu dan mengikrarkan Sumpah Pemuda
Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia
Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah satu, tanah air Indonesia.
Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia
Namun, Saudara – Saudaraku sekalian, masih saja tersisa sebersit pertanyaan berkecamuk di dalam diri saya sebagai salah satu dari apa yang dinamakan putera dan puteri Indonesia ini : Masihkah jiwa dan ruh dari semangat persatuan itu berpijar di dalam diri kita, Putera dan Puteri Ibu Pertiwi, Indonesia? Masihkah tersisa bara api Sang Binatang Jalang Chairil Anwar, misalnya, yang menghantam nurani kita dengan raungannya,“SEKALI BERARTI, SUDAH ITU MATI” memenuhi relung hati kita semua? Di sini, di panggung ini? Di ruang – ruang kelas? Di SMA Negeri 1 Rendang ? Di Bali? Di bumi Indonesia?
Saya skeptis, Saudara – saudara... Ijinkanlah saya mengutarakan alasannya berdasarkan fakta dan realita, dan bukan karena pendapat maupun opini saya pribadi.
Ya, di dalam hati saya ragu, misalnya, karena sekarang kita menitikberatkan kepada bahasa sebagai media pemersatu bangsa, sudahkah kita memberi arti kepada Sumpah untuk berbahasa dengan baik dan benar? Satu contoh sederhana saja, Masihkah sebagian besar dari kita, ketika berpidato, mengawali sambutan dengan mengatakan “Yang Terhormat”, alih – alih mengatakan “Kepada yang Terhormat” karena “kepada” yang digabungkan dengan “yang Terhormat” menjadi frase yang mubazir?
Masih seringkah kita mendengarkan para guru kita menyuruh kita ‘maju!’ atau ‘ke depan!’ dan bukannya ‘maju ke depan!’... karena yang maju pasti ke depan, dan yang ke depan pasti maju? Kita berhadapan dengan ambiguitas berbahasa semacam ini dari waktu ke waktu, namun luput dari perhatian kita, seperti juga kita keliru mengatakan ‘mengejar ketertinggalan’ ketika seharusnya kita mengatakan ‘mengejar kemajuan.’ Mengatakan ‘Saya’ untuk menunjukkan orang pertama tunggal dan bukannya mengatakan ‘Kami’. Anda lihat, saya berdiri di sini, hari ini, di panggung ini berkata “ Ijinkanlah SAYA menyampaikan beberapa patah – kata” dan bukannya “Ijinkanlah KAMI menyampaikan beberapa patah kata,” karena saya orang pertama tunggal, bukannya kumpulan orang – orang!
Saudara – saudaraku, itulah sedikit gambaran betapa menyedihkannya keberbahasa-Indonesia-an kita setelah sekian kali kita merayakan Bulan Bahasa. Sepertinya bara api yang pernah dikobarkan para pemuda kita itu tergerus oleh waktu.
Hilang bentuk. Remuk.
Kemudian,hadirin sekalian, pada era sekarang ini, problematika berbahasa Indonesia yang baik dan benar ini makin diperparah lagi dengan trend – trend prokem serta pengacak – acakan unsur – unsur bahasa, hingga ke dalam tata – bahasa, bahkan kata – kata. Anak muda sekarang merasa bangga bisa mengaplikasikan jargon “So what gitu loh”, “Sesuatu banget..”, “E.G.P”, dan dengan tanpa perasaan bersalah mengubah fungsi angka 4 menjadi huruf A, angka lima menjadi huruf S, dan seterusnya... sehingga “SAYA PERGI KE SEKOLAH” menjadi “54Y4 P312G1 K3 S3K0L4H”. Kita berkilah itulah bahasa gaul, bahasa yang menunjukkan identitas pemuda – dan pemudi moderen, kreatif dan panjang akal. Tanpa kita sadari, kita telah memperkosa bahasa sendiri, melecehkan sumpah yang diliputi oleh rasa kebanggan sebagai satu kesatuan Nusantara. Perjuangan para pelopor rasa kebangsaan itu menjadi sia – sia. Mereka meratap memanggil sayup – sayup:
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu
Kenang, kenanglah kami
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa
Kami sudah beri kami punya jiwa
(Kutipan dari puisi “Kerawang – Bekasi”, karya Chairil Anwar)
Hadirin yang saya hormati, kiranya tidaklah berlebihan bila saya menghimbau kepada seluruh pemuda – pemudi Indonesia, sebagai harapan bangsa mulai memaknai Bulan Bahasa kali ini dengan cara yang sebaik – baiknya dan sebenar – benarnya, seperti juga di dalam berbahasa hendaklah baik dan benar. Peribahasa mengatakan “Bahasa menunjukkan bangsa.” Apalah artinya suatu bangsa tanpa bahasa yang baik dan benar? Tinggal wilayah hampa tanpa harga diri dan kebanggaan, di mata dunia maupun di mata anak – cucu kita nanti.
Semoga Tuhan senantiasa menyertai langkah kita, khususnya para pemuda – ppemudi, pelajar serta mahasiswa dalam menegakkan kebudayaan berbahasa yang baik dan benar. Semoga Bahasa Indonesia bertambah jaya, bertambah perkasa dalam mempererat rasa persatuan dan kesatuan bangsa, negara, masyarakat dan juga keluarga. Amin!
Hadirin yang saya muliakan, demikianlah telah saya sampaikan beberapa patah – kata, mudah – mudahan kita mendapatkan manfaat yang sebesar – besarnya. Terima kasih atas perhatian para Hadirin.
Om Shanti, Shanti, Shanti, Om.
Thanks atas infonya...
BalasHapusSama - sama, kawan. Semoga bermanfaat.. :)
BalasHapusasik banget pidatonya
BalasHapusbagus banget pidatonya
BalasHapusTerima kasih, sob... Semoga memberi manfaat. :)
BalasHapusMau tanya om Swastyastu sama Om Shanti itu apa :)
BalasHapus