Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan

Senin, 09 April 2012

Rendra, Pahlawan Indonesia Lewat Kata - Kata


W. S. Rendra telah tiada, namun karya – karyanya yang bernilai tinggi menggema sampai jauh. Terbukti kembali, bahwa jiwa para sastrawan selalu hidup, meskipun raganya telah hancur. Chairil Anwar menyatakannya di dalam puisi “Aku”- nya, ‘Aku ingin hidup seribu tahun lagi.”

WS Rendra, wafat 6 Agustus 2009. Baru hari sebelumnya, seniman Mbah Surip juga meninggal dunia. Dua sosok seniman hebat Indonesia dipanggil Tuhan hanya dalam berbilang hari. Mungkin benar, Tuhan lagi butuh hiburan.

Willibrordus Surendra Broto Rendra atau WS. Rendra lahir Solo, pada 7 November 1935. Ia adalah penyair paling ternama Indonesia yang kerap dijuluki sebagai "Burung Merak". Ia mendirikan Bengkel Teater di Yogyakarta pada tahun 1967 dan juga Bengkel Teater Rendra di Depok.

Semenjak masa kuliah sudah aktif menulis cerpen dan esai di berbagai majalah.Untuk kegiatan seninya Rendra telah menerima banyak penghargaan, antara lain Hadiah Pertama Sayembara Penulisan Drama dari Bagian Kesenian Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Yogyakarta (1954) Hadiah Sastra Nasional BMKN (1956), Anugerah Seni dari Pemerintah Republik Indonesia (1970), Hadiah Akademi Jakarta (1975), Hadiah Yayasan Buku Utama, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1976) , Penghargaan Adam Malik (1989), The S.E.A. Write Award (1996) dan Penghargaan Achmad Bakrie (2006).

Rendra yang dikenal hingga akhir hayatnya adalah Rendra si penyair cadas dengan puisi-puisi pamfletnya yang menonjok. Ibarat rocker Internasional, dia adalah Bob Dylan, yang tak segan – segan menggugat penguasa tak bermoral, cukong rakus, dan penggelap uang tak tahu malu. Salah satu kumpulan sajaknya terangkum di dalam kumpulan sajak yang diberi judul “Potret Pembangunan dalam Puisi.” Rendra seolah membongkar ketimpangan – ketimpangan sosial – budaya setelah Indonesia memperoleh kemerdekaannya, melupakan sejarah dan jati diri bangsa. Ia mengajak kita merenung dan mengoreksi kekurangan dan kelemahan kita agar kembali memaknai pembangunan sesuai esensinya. Mari kita menyimak beberapa kutipan (dari sajaknya yang tentu saja lebih lengkap dan panjang) bait di dalam sajak – sajaknya :


Orang-orang miskin di jalan,
yang tinggal di dalam selokan,
yang kalah di dalam pergulatan,
yang diledek oleh impian,
janganlah mereka ditinggalkan.

(Orang – orang Miskin)

Menghisap sebatang lisong
melihat Indonesia Raya,
mendengar 130 juta rakyat,
dan di langit
dua tiga cukong mengangkang,
berak di atas kepala mereka

(Sajak Sebatang Lisong)

Aku tidak melihat alasan
kenapa harus diam tertekan dan termangu.
Aku ingin secara wajar kita bertukar kabar.
Duduk berdebat menyatakan setuju dan tidak setuju.

(Aku Tulis Pamplet Ini )

aku berdiri di muka kantor polisi
aku melihat wajah berdarah seorang demonstran
aku melihat kekerasan tanpa undang – undang
dan sebatang jalan panjang
penuh debu
penuh kucing – kucing liar
penuh anak – anak berkudis
penuh serdadu – serdadu yang jelek dan menakutkan

(Sajak Seorang Tua di Bawah Pohon)

Di samping karya berbau protes, Rendra juga sering menulis karya sastra yang menyuarakan kehidupan kelas bawah seperti puisinya yang berjudul Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta dan puisi Pesan Pencopet Kepada Pacarnya. Banyak karya-karyanya yang sangat terkenal, seperti “Blues untuk Bonnie”, “Pamphleten van een Dichter”, “State of Emergency”, “Sajak Seorang Tua tentang Bandung Lautan Api”, “Mencari Bapak”. Bahkan di antara sajak-sajaknya ada yang sudah diterjemahkan ke bahasa Inggris seperti Rendra: Ballads and Blues: Poems oleh Oxford University Press pada tahun 1974. Demikian juga naskah drama karyanya banyak yang telah dipentaskan, seperti Oedipus Rex, Kasidah Barzanji, Perang Troya Tidak Akan Meletus, dan lain sebagainya.

Kiprah WS Rendra sebagai penyair, dramawan, budayawan, dan pengkritik sosial terkemuka Indonesia kontemporer, akan terus dikenang. Kritik sosial Rendra yang dituangkan dalam puisi dan drama akan terus mengentak untuk jangka panjang, sekalipun Burung Merak ini sudah terbang tinggi ke balik cakrawala hari Kamis dalam usia 74 tahun. Pengaruh karya seninya akan jauh melewati batas usianya, lebih-lebih karena memang karya seni itu abadi sementara hidup manusia pendek, ars longa, vita brevis .


[DeJa]
Bahan Acuan:
http://www.goodreads.com
http://nusantaranews.wordpress.com

Minggu, 17 Juli 2011

KAMPUS

Jalanan di desa J rusak parah. Banyak yang ambhrol. Bukannya gimana, saban malam truk – truk pengangkut material berseliweran melewati jalan aspal desa. Ya, akan ada sesuatu yang akbar di desa J, sesuatu yang amazing! Ruas desa J bagian tenggara akan dijadikan kampus jurusan penjaskes, hasil pemekaran kampus induk di kota karena di kota tentu saja tak ada lahan tersisa untuk bangunan seluas itu.
Jadinya, seperti itu tadi. Jalan di sepanjang desa J benar – benar babak – belur. Tiap hari digilas ban – ban pengangkut pasir, batu, batako dan sebangsanya.
“Sebenarnya kerusakan jalan ini tak sepenuhnya bisa ditimpakan kepada truk – truk itu. Desa kita punya sejarah pembangunan jalan yang bisa dibilang sebuah budaya di mana – mana,” Pak Gloyoh, warga desa J memulai diskusi kecil di depan warung. Udara desa jam siang seperti saat itu memang memaksa hampir setiap penduduk desa menjadi miskin pilihan. Untuk mengurangi kegerahan, hanya ada dua pilihan: nyemplung di tukad desa atau nongkrong di warung yang menjual minuman dingin sambil ngobrol sesama banjaran.
“Nah, terus apa yang bisa disalahkan kalau bukan truk – truk itu, Pak? Kenyataannya kan memang begitu?” teman di sebelah Pak Gloyoh menimpali. Yang lain menjadi pendengar yang baik, sambil meminum esnya, yang lainnya duduk diam. Sebentar menyimak, sebentar tenggelam ke dalam pikirannya masing - masing.
“Ya, coba saja perhatikan berapa usia jalan kita ini. Seingat saya, belum juga lima tahun berlalu, kondisinya sudah banyak yang bolong – bolong. Jalan – jalan lain di luar desa, meski sudah tujuh tahunan tidak diservis, dengan kepadatan yang hampir sama dengan di desa kita, masih kelihatan tidak rusak – rusak amat,” Pak Gloyoh beropini.
“Kalian tahu, kalau zaman penjajahan Jepang dulu jalan – jalan dibangun oleh darah dan keringat. Sekarang, jalan – jalan kita dibangun dengan bahan upil dan daki udel. Asal jadi,” Pak Gloyoh menyambung gusar. Bicaranya bersemangat.
Tidak bisa disalahkan, memang. Dia tiap pagi buta mesti mengantarkan istrinya ke pasar kota, membeli bahan belanjaan untuk dibawa pulang dan dijual kembali. Jadi, tiap hari dia harus berhadapan dengan jalanan brengsek itu.
Melewati jalan desanya kini, Pak Gloyoh sering memaksanya teringat kembali ketika dia pada masa mudanya, pada tahun 80-an menjadi supir truk pengangkut buah di daerah Karangasem, mesti memiliki kesabaran tak terhingga karena harus melewati jalurnya truk – truk pengangkut pasir – pasir dan batu yang diambil dari Galian C. Kondisi jalannya semrawutan, apalagi di wilayah Selat. Siang harinya selain panas, debu – debu mampu membunuh hari – hari indah yang bahkan sudah direncanakan menjelang tidur dan bangun pagi. Hujan ataupun tidak, sama saja menyebalkan. Kalau hujan tanahnya becek dan berlumpur. Tidak hujan, lubang menganga siap menyambut.
“Bukannya pak kades kita sudah merencanakan perbaikan dengan segera, Pak? Ini kan menyangkut kepentingan orang banyak?,” yang di sebelah Pak Gloyoh kembali bertanya.
“Ya, kita disuruh wait and see. Menunggu, sambil melihat onderdil motor dan pick – up- mu pada gundal – gandul. Nyahok.”
“Menurut yang saya dengar, segera setelah kampusnya rampung, jalan – jalan ini segera dibenahi. Akan ada pembebasan tanah di pinggir – pinggir ruas jalan,” yang paling muda di antara mereka menambahi.
“Lah, terus selama kita menunggu waktu itu datang, tak ada yang bisa kita lakukan selain mengeluh dan memaki, begitu? Aku juga mendengar kabar itu, sama seperti saya juga mendengar bahwa harga tanah – tanah di sekitar areal kampus itu menanjak seperti jet tempur. Dari tujuh juta per are menjadi limapuluh lima, bahkan lebih!.””
Well, Pak Gloyoh membawa percakapannya ke level yang lebih tinggi, dan dia makin membara. Dia tak habis mengerti, apa saja yang dilakukan oleh para pemimpinnya. Tidakkah mereka berpikir memasukkan rehabilitsi jalan ke dalam dana cadangan atau biaya tak terduga, bla-bla-bla apalah namanya, hingga tak hanya di desanya saja yang kondisinya sepertinya mengingatkan dia ke masa dahulu kala, saat Indonesia masih dalam penjajahan Belanda?
“Jangan katakan kalian tidak suka uang. Orang sepolos dan senaif Konce saja sejak ada wacana kampus ini menjadi tahu arti kata investasi. Banyak makelar – makelar tanah yang rajin menengok ke area kampus itu. Sebagian dari mereka kembali pulang dengan membawa bukti kepemilikan baru. Pak kepala desa kita, kalian pikir lebih goblok daripada Konce? Bapak kita yang satu ini malah asyik mengurus investasi, booking dan lobbying, ” Pak Gloyoh mengamuk, “Nyesel aku dulu memilih dia! Belum kuhitung lagi, para caleg – caleg yang urat peka sosialnya sudah putus, lebih memilih menggandakan spanduk – spanduk daripada ikut meringankan barang sedikit permasalahan yang nyata di depan mata. Padahal, pemilihan masih jauh, sudah mulai sok aksi! Taik!”
Yang lainnya bengong, tercenung. Ya, menyedihkan tetapi nyata. Mereka juga merasakan payahnya tiap hari harus mengalami yang dialami oleh Pak Gloyoh, perut dikocok – kocok di sepanjang jalan, yang, tentu saja, kocokan di perut ini tidak sama dengan dagelan Srimulat. Yang ini sangat tidak lucu. Sama sekali.
Anak – anak mereka yang bersekolah di kota, apalagi. Senin sampai Sabtu juga tentu ikut bernasib sama. Apalagi buat anak – anak yang rajin ikut kegiatan di luar sekolah, ekskul, atau mau jalan – jalan ke kota sore – sore. Belum lagi bagi mereka yang memiliki mobilitas tinggi, macam Pak Awek, juragan pengampas cemilan dan kerupuk itu, minimal sepuluh kali melewati jalan yang sama ini.
Maka, selepas percakapan kecil di warung itu, warga desa sepakat untuk memakai hak aspirasi mereka, menuju kantor kepala desa, meminta solusi untuk jalanan rusak itu. Pak kades kaget, tak menyangka topik semacam itu bisa hinggap di otak warganya.
“Seyogyanya,” Pak Kades memulai tanggapannya,” jalan kita ini akan diperbaiki segera setelah kampus benar – benar finish. Itu sekitar satu setengah atau dua tahun lagi.”
“Wah, koq bisa selama itu, Pak? Masak kita harus gledag – gledug selama dua tahun ke depan?” seorang warga yang ditokohkan bertanya.
“ Saya hanya mengikuti prosedur dari atas, Saudara – saudara. Kesepakatan dengan pihak kampus memang seperti itu. Toh, pihak kampus sudah pernah, kan, melakukan tindakan perbaikan, menambal lubang – lubang di jalan waktu ini?”
“Ya, Pak... Tapi yang dipakai menambal hanya campuran pasir dan semen kadar rendah. Hanya bertahan seminggu. Kesannya asal – asalan. Lebih baik tidak ditambal saja sekalian. Kerja mereka malah menambah masalah baru di jalan: Macet!”
Ampun! Pak kades pusing sendiri. Sabar lagi sedikit, kenapa? Dasar penduduk tak tahu arti miasa, menahan diri!
“Ya sudah,” pak kades mencoba mengembalikan wibawa suaranya,” terus, setelah saya katakan duduk perkaranya tadi seperti itu, apakah ada usul dari Saudara – saudara?”
Seorang warga angkat bicara,” Mohon cari lagi kemungkinan bantuan dari pihak kampus, Pak!”
“Anda tahu itu nyaris tak mungkin. Kesepakatan telah ditandatangani di atas kertas.”
Ya, kertas! Sekarang kita dikalahkan oleh selembar kertas 70 gram!
“Setidaknya Bapak bisa menyampaikan kepada siapapun yang berwenang tentang kondisi di lapangan, Pak! Katakan bahwa jalan – jalan kita rusak karena truk – truk pengangkut material kampus itu. Mungkin, mereka akan mengerti jika Bapak sedikit lebih lincah.”
Kata ‘sedikit lebih lincah’ ini jelas menohok harga – diri Pak Kades. Tapi dia masih bisa menahan diri. Di lain sisi, para warga desa makin ambhrol juga pertahanannya. Makin bernafsu menyampaikan keluhan dan rasa gregetan mereka akan situasi.
Pak kades mengalah. Lalu di dalam diskusi yang alot bak Sidang Paripurna di Senayan sana, dicapailah kesepakatan untuk memperbaiki jalan – jalan bobrok itu mulai keesokan harinya. Dananya diambil dari swadaya masyarakat. Para penduduk kebanyakan memaki, mencak – mencak. Ingin perbaikan, dengan biaya minim. Ingin perubahan, finansial tetap tak terganggu.
Warga yang kaya – raya tetap kalem. Menyumbangkan uangnya tanpa banyak bertanya. Yang bergelar kumat kritisnya. Keputusan ini kurang begini dan begitu. Di dalam hati, mereka sebenarnya juga gusar dengan kondisi jalan itu, tapi mereka mesti mengeluarkan tanggapan dan opini sedikit saja. Mereka perlu menunjukkan itu, agar kecerdasan mereka tidak memudar terbawa arus sungai desa.
Sungai di desa J rada gila. Banyak tai-nya. Anda tahu tai? Tai itu tinja, tinja itu berak, hajat hidup orang banyak. Bule – bule bilang tai itu ‘fuck and shit’. Dan, jalanan di desa J memang semenyebalkan fuck and shit.
Tapi tak mengapalah. Sebentar lagi beban menyebalkannya akan sedikit diringankan. Para pekerja bangunan di desa bersemangat mengangkut pasir kali, batu – batu kancing dan semen. Yang lainnya sigap mengaduk – aduk bahan – bahan itu menjadi campuran beton kelas menengah. Ini jelas bukan hot mix seperti yang dijanji – janjikan Pak Kades, menyambung corong pemberitahuan kampus. Tapi, okelah, lebih baik menang tipis daripada dikalahkan telak oleh jalan sontoloyo ini, begitulah pikir warga desa.
Kaum ‘intelektual’ desa juga urun opini, mengkritisi proses rehabilitasi dadakan itu. Bagi mereka, masalah jalanan desa ini adalah sama artinya dengan kolom surat pembaca di media – media massa, tempat nama – nama mereka bisa terpajang, meski terkadang rela saling sikut dan tonjok – tonjokan. Warga desa J tak merasa terganggu. Entahlah, apakah mereka menarik manfaat dari perkataan mereka, ataukah saking lamanya mereka mendengarkan mereka berbicara tanpa jeda menjadikan mereka kebal kata – kata. Atau, mungkin mereka seperti berada di ruang pengap terlalu lama, sehingga lama – lama mulai menikmati kepengapan itu, sehingga lupa dengan adanya udara segar di luar sana.
Pak Gloyoh kala itu tak secerewet biasanya. “Biarlah kerja mulutku digantikan sekarang oleh tanganku,” begitu katanya. Dia ikut turun ke jalan, seperti demonstran yang kali ini di hadapan ketimpangan bertindak efektif.
Di sela – sela isirahatnya, Pak Gloyoh berkata kepada Konce,” Sebenarnya desa kita cukup pinter. Buktinya banyak sarjana – sarjana jebolan universitas – universitas bonafid berasal dari sini. Kau tahu Si Koyok, Si Bocah Ajaib itu? Dia itu Jebolan ITB, lho! Tapi kok, masalah beginian aja kita sudah klenger? Macam negara kita saja, dipimpin sama Ratu Adil dan Satrio Piningit tetap saja kelimpang – kelimpung”.
“Uang untuk rehab jalan dijadikan mainan sama yang ngurus jalan, mungkin begitu. Padahal jalan adalah salah satu syarat mutlak agar pasar bisa berjalan dengan lancar,” Pak Gloyoh Melanjutkan sambil menatap Pak Konce yang sedang berjongkok di sebelahnya, berendam di air sungai desa. Yah, cuaca lagi panas, enggak ketulungan. Uang lagi melompong, tidak bisa membeli es di warung. Terpaksa ke sungai.
“Betul itu, Pak Gloyoh.... Eeekkk...!”
“Jadi itu tadi, yang bagian menghadap kepada Pak Kades sampai realisasi perbaikannya adalah ide saya demi kelancaran roda ekonomi kita ke depan, Pak Konce. Alangkah baiknya kita mewujudkannya, agar tidak tertinggal hanya mimpi.”
Oh, ternyata tak pernah ada demo tentang jalanan... Itu masih berupa rekaan Pak Gloyoh. Tapi siapa tahu suatu saat nanti bisa menjadi masterplan.
“Saya rasa... eekkk... itu sesuatu yang muluk – muluk, Pak Gloyoh.”
“Muluk – muluk bagaimana maksudmu?”
“Yaa... tahulah bagaimana karakter sebagian besar orang – orang di sekitar kita ini, Pak... eekk...”
“Hmm... aku mengerti. Harus diakui, orang – orang kita kebanyakan tidak mau repot, menganggap banyak kepentingan bersama sebagai bukan urusannya dan membiarkan saja apa yang terjadi sekarang seperti ini, sampai bantuan itu datang.”
“Heeehhk... iya, Pak Gloyohaa....”
“Kau tahu, Pak Konce, tanpa kita sadari kita semakin terperosok ke dalam kebiasaan apatis? Yang di atas tak perduli kepada jalan kita karena mereka tak pernah melewati sendiri jalan ini. Jadinya, perbaikan dilakukan begitu mereka ada kepentingan untuk sering – sering keluyuran ke sini ; menengok rumah kaplingan, misalnya,”
“Heee – ekh...”
“ Kita juga di sini apatis, mau saja menunggu seperti kerbau kena santet, tanpa mau memastikan kapan perbaikan jalan akan dilakukan. Aku jadi curiga, jangan – jangan perbaikan dilakukan tahun depan, ketika para caleg berebut simpati massa, dan orang – orang kita yang pada dasarnya memang selalu dibutakan oleh uang mau saja meneken kontrak perbaikan jalan. Caleg haus suara itu lalu mengingatkan bahwa dia-lah yang memegang andil di dalam perubahan besar itu! Huh, tak sudi, aku!” Pak Gloyoh kembali terbakar.
“Heeeee....ehh.... Heeee....hh...”
“Kamu ini kenapa sih? Dari tadi diajak ngomong ‘ha-ah he-eh’ saja?”
“.....Maaf, Pak Gloyoh.... Saya lagi berak!”
“Fuck and shit!”

28 Juni 2011
02:32 A.M.

Minggu, 26 Juni 2011

Bim, Kekasihku, dan Rudyku yang Sendu


“Ada satu hal yang sangat penting yang ingin kukatakan.”
“Katakan saja. Kau tahu aku selalu mendengarkan setiap ucapanmu, sayang.”
“Aku sudah lama tidak perawan.”
“Aku tahu.”
Rudy menatapku lekat. Seakan tak mempercayai tanggapan yang aku berikan. Ya, aku tahu,kenapa tidak? Aku sendiri sudah tidak perjaka sejak masih SMA, aku tidak mau mempermasalahkan itu. Sebutlah saja aku seorang over – modern karena pendapatku ini : biarlah setiap perempuan tidak perawan, namun jangan biarkan harga – dirimu tak perawan lagi. Itu perkara lain.
“Kau tidak berpikir bahwa itu akan membuat perasaanku berubah kepadamu, kan?” aku menggumam pelan.
Rudy menatapku lagi. Aaahh...tatapan itu! Persis seperti ketika pertama kali aku bertemu dengannya. Tatap mata penuh selidik, namun tak mampu menyembunyikan gejolak takjub dan keluguan hati seorang kekasih. Sebentuk senyuman di bibirnya yang tipis mampu memadamkan semangat pemberontakan di dalam diriku, seperti juga dia membangkitkan rasa cinta hampir setiap laki – laki yang beruntung bisa mendekati dan mengenalnya.
Aku melihatnya pertama kali saat udara begitu panasnya mengurung bumi, di antara kegusaran dan amarah meradang di mana – mana. Aku pun saat itu masih tertawan di dalam kehampaan, namun di sanalah dia, Rudyku, di hadapanku – menawarkan kerlingnya yang sejak saat itu mengganggu angan - mimpiku. Lama, pada kemudian hari kenangan akan pertemuan itu menghiasi hari – hari kami bersama, betapa masing – masing hati kami seperti bertemunya kembali jiwa – jiwa merindu sepasang sahabat yang begitu lama terpisah.
“ Aku tahu Rudyku, sayang,” aku mengulangi kata – kataku,” Kenyataan bahwa kau terlalu indah di antara dunia yang rakus dan tak berperasaan memberiku keyakinan bahwa kau selalu diampuni – Nya dalam setiap langkahmu.”
Rudy meraih tanganku. Baru beberapa minggu aku mengenal dan berenang – renang di lubuk hatinya, sepertinya tak ada satu pun ruang tersisa yang luput dari jamahanku. Demi para dewa dan Lucifer, aku berada di dalam posisi rela menyerahkan segalanya kepada dia, Rudy-ku, dan menapaki bumi dan langit dalam kehadirannya.
Dia liar seperti rusa keemasan yang didambakan oleh Dewi Sita, kekasih Sri Rama. Dia perempuan spontan yang, tidak seperti kebanyakan tipikal perempuan sekarang, mengungkapkan setiap kilasan di dalam benaknya seperti adanya. Dia adalah sesosok bidadari di dalam penyamarannya, dia adalah misteri.
Bahwasanya dia adalah bidadari tak pernah sekalipun aku mengingkarinya. Karenanya, bagaimana bisa bidadari bisa berkata nonsens bahwa dia tak perawan lagi? Oh, Rudy, bahkan ketika kulit halusmu bersentuhan dengan kulitku, dan kita bergumul berdua memuaskan gemuruh di dalam dada yang tiada henti bergetar di malam – malam tanpa kehadiran wujud kita, tak pernah kupermasalahkan, misalnya, bagaimana darah dari selaput daramu tidak kunjung mengalir dari tempat di mana dia seharusnya mengalir.

“Sudahlah, Rudy... Jika yang kau maksudkan dengan kata – katamu tadi adalah agar aku gusar dan meninggalkanmu...”
“Tidak – tidak – tidak, sayang”
“Maka pembicaraan perihal ini selesai. Kita telah berjanji untuk saling menjaga hati kita berdua. Aku mencintaimu, apapun yang menjadi masa lalumu seperti aku mencintaimu atas apa yang mungkin akan terjadi di masa yang akan datang, saat kita tak lagi terpisahkan.”

Rudy tercenung di dalam lamunannya. Untuk sesaat, aku seakan terserap masuk ke dalam percakapan – percakapan yang pernah kami buat bersama – beberapa menyenangkan, beberapa menyedihkan, tak satupun yang membosankan. Tak salah lagi, Rudyku pun sekarang pastilah mengenang kembali perjalanan cintanya yang terdahulu, dengan seorang polisi yang masih sepupunya sendiri. Kelaki-lakianku teruji bila kuingat bagaimana dia, polisi pilihan bapaknya itu memaksa Rudyku untuk bersetubuh pada suatu hari yang bagi langitpun adalah suatu perkabungan resmi. Tangan – tangan kekar itu melucuti baju, lalu jeans itu, lalu celana dalam itu, dan dalam ketakberdayaan Rudyku malang harus menerima apa yang belum siap dia terima. Dia berlari dalam tangisan burung dara yang terluka, dengan tatapnya yang pilu menampari muka.

Lalu, Rudyku juga sekarang memikirkan bagaimana caranya menjelaskan kepada Jana, kekasihnya, bagaimana dia telah berpaling hati kepadaku. Kehadiranku yang tak terduga dan tiba – tiba seperti semacam berkah tersembunyi bagi Rudyku, namun petaka bagi Jana. Rudyku, di dalam beribu budi yang telah ditanamkan oleh Jana, untuk sesaat dalam pertemuan denganku nyaris bisa mengentaskan pikiran semacam itu. “Biarkan hatimu yang menentukan pilihan!,” begitu kataku suatu hari, dan Rudyku mengangguk dengan pastinya. Dalam beberapa kesempatan dia bahkan meyakinkanku bahwa tak perduli sudah tiga tahun dia berbagi hidup dengan Jana, hatinya tetap berpaling kepadaku, dan itulah keputusan terakhirnya.

Aku menunggumu, Rudyku, dalam ketabahanku. Aku menciumi dan merengkuhmu di antara bayang – bayang peluk dan cium Jana, di antara sebersit gerak – gerik polisi sialan itu, di antara laki – laki lain yang pernah ada di ruang sukmamu yang selalu riuh menantikan belaimu.

-----

“Aku sudah tidak perjaka lagi,” katanya.
“Hah? Benarkah? Bagaimana bisa?,” aku kaget.
Bim tersenyum. Ada kilatan kebanggaan bersemi di antara senyum kekanak – kanakannya.
“Ya, tidak ada yang salah yang tadi kubilang itu, aku sudah kehilangan keperjakaanku, tepat pada usiaku yang ketujuhbelas,” Bim tertawa,” Nih, lihatlah, noda darahnya menjadi bukti paling otentik !” Bim menjulurkan sedikit ujung kain celananya kepadaku. Buset! Kejadiannya baru tadi ya? Gila! Bim itu orangnya pengecut luar – biasa masalah beginian. Setan mana yang berhasil merayunya, tumben bisa nekat menurut ukurannya? Ah, aku tahu! Pasti Nita, gadis satu sekolahnya yang selalu sepanjang waktu dia ceritakan kepadaku.
“Nita. Di kamar mandi,” Bim bicara seolah dia berpikir aku penasaran.
“Kau gila, kau tahu itu? Kita sudah sering membicarakan ini, dan berkali – kali aku bilang: ‘Jangan melangkah terlalu jauh!’ Kau tak aku persalahkan, anyway.”
“ Yah, aku tak bisa menahannya, dan sepanjang yang aku rasakan, dia juga begitu.”
“Bagaimana dengan bapaknya yang galak seperti bulldog? Aku masih ingat berkali – kali kau bercerita tentang berbagai makian dan teror yang kau terima karena kau menjalin hubungan dengan Nita. Ada yang mestinya kau pikirkan, Bim. Orang tua yang memiliki sebentuk intan permata seperti Nita akan sangat murka jika mengetahui kejadian ini.”
Bim termenung, menatapi lekat – lekat noda merah yang menembusi celanannya.
Tak ada yang salah dengan sikapmu. Ya, Bim, aku berada di pihakmu. Dalam beberapa hal kita sepaham. Saat percik – percik rasa cinta mengunjungi hatimu suatu saat, tak ada satupun yang berhak menghalangi laju hidupnya, itu adalah kejahatan. Karena itulah aku selalu bercerita kepadamu bagaimana remuknya sekujur jiwa – ragaku saat kisah cintaku dengan Yusi harus berakhir karena bapaknya menganggap aku masih kelas babi, belum bisa mencari makan sendiri. Dan, Yusi – ku terlalu statis untuk bisa menerima ide – ideku tentang ‘runaway,’ atau ‘jangan membunuh benih cinta yang terlanjur bersemi’ dan ide – ide sentimentil lain yang menurutku benar untuk dilakukan. Yusiku akhirnya pergi, menyisakan asa yang tak menentu di dalam diriku. “Selalu akan ada yang lebih baik daripada dia,” sejak saat itu aku sering berkata begitu kepada diriku sendiri sepanjang hari.
Kadang aku bercerita kepada Bim betapa aku bosan dengan situasi yang terus – menerus berdatangan seperti deretan kartu mati yang menjadi bagianku. Selepas Yusi, ada yang lainnya lagi yang, seperti keyakinanku, lebih baik daripada yang sebelum – sebelumnya, meski tetap harus berakhir juga.
Sial! Ada saatnya aku benar – benar frustrasi dan ingin mengakhiri saja permainan kartu – kartu brengsek ini, secara literal. Tapi aku tak bisa. Kalaupun aku bisa, norma – norma melarangku untuk melakukannya. Terlebih lagi, keinginan untuk selalu membahagiakan ibu dan bapakku selalu mampu mengembalikan sekeping akal sehatku kembali ke tempatnya.
“Begitulah hidup. Setidaknya hidupku,” pernah aku berkata seperti itu kepada Bim, “Kau tak pernah tahu apa yang menyebabkan segalanya seperti tak adil bagimu, padahal demi Tuhan kau telah mencoba melakukan yang terbaik sepanjang waktumu. Hidup terkadang seperti anomali, aneh dan absurd, tapi percaya saja, segalanya selalu kembali kepada satu hukum keseimbangan.”
Bim, kau tak tahu aku pernah berhadapan muka langsung dengan ayah Nita, dan dengan cara tertentu dia mengingatkanku kepada ayahnya Yusi, mantan kekasihku.
“Tolong jauhkan adikmu dari anakku!” begitu katanya waktu itu. Selain karena dia ‘masih terlalu muda untuk memasuki dunia yang namanya cinta’,(haha... dia ‘baru’ tujuhbelas tahun!) ayah Nita sepertinya telah merencanakan sesuatu perihal dunia dewasa Nita nanti. Tak bisa diganggu lagi.
Maka begitulah. Nita dengan sembunyi – sembunyi tetap menjalin kasih dengan Bim. Setelah kejadian pengoyakan virginitas itu, mereka malah makin menjadi – jadi. Aku, bagaimanapun, menjadi saksi bisu akan bagaimana mereka melewati hari bersama – sama. Mereka bercinta di dalam kamar, kadang mengerjakan laporan – laporan sekolah bersama, saling berjanji bertemu di taman kota, sambil di lain sisi mesti menghindari agar jejak mereka tak terendus oleh ayah Nita.
Itu sesuatu yang masih normal kita temukan jaman sekarang, kan? Katakanlah ini adalah sesuatu yang telah melebihi batas kewajaran, maka aku dengan sukarela akan mencarikan sampel bentuk hubungan ABG yang jauh lebih ekstrim lagi daripada itu.
Aku tertawa di antara mereka karena bagaimanapun mereka seakan menyatakan cerita laluku sendiri yang tertunda. Setiap canda, derai tawa, isakan merajuk, rencana – rencana indah, kadang ungkapan – ungkapan keluguan seorang anak kecil, semuanya mengingatkanku kepada diriku sendiri.
Seperti juga pertengkaran – pertengkaran yang kadang menyambangi. Saat dua orang mulai merasa sudah saling mengenal lebih dekat, ada semacam ego spontan yang ingin melesak keluar. Begitulah, setelah hampir satu tahun menjalani kasih – mengasihi dalam ketersembunyian, Nita terbawa emosinya dan bersumpah tak akan mau lagi bertemu dengan Bim-ku.
Bim-ku sedih tiada terkira. Sepanjang hari dia menyendiri. Kadang dia tak ingat makan, dan sering merenungi diri di dekat pantai.
“Sudahlah, Bim, mestinya dia akan kembali kepadamu. Kalau tidak sekarang, ya suatu saat nanti,” aku menasehati, lalu keluar juga kalimat klise itu,” Kalaupun dia tak kembali, yang lebih baik daripada dia akan datang di dalam hari – harimu.”
Bim-ku masih terdiam. Aku memasuki alam kemurungannya dan tertusuk juga di dalam. Ah, Bim, jiwamu masih terlalu muda untuk merasakan sakitnya patah – hati. Kau akan belajar, kau akan belajar.

-----

Malam berkabut. Kurasa jam hampir menunjukkan pukul sepuluh. Jalanan yang kulalui sepi, penuh tikungan dan lubang – lubang yang terasa bersekongkol untuk meremukkan tubuh dan motorku. Beberapa kali ban sepeda motorku harus terperosok ke dalam lubang di jalan yang tak kentara karena penerangan jalan menghalangi sudut pandangku. Genangan air hujan yang berlumpur juga memperparah situasi.
Hujan deras menyusupi jas hujan yang kukenakan, menusuk – nusuk muka dan tanganku, seperti ribuan hujaman batang jarum.
Rudy, ke sanalah aku menuju. Dalam sepi penantianku akan keputusan cintamu, aku terbakar derita tiada henti, memikirkan segala tentangmu. Aku ragu. Takut. Jangan – jangan kau akan lepas dari pandangku, selamanya.
Dan di sanalah kau, berdiri dalam keanggunan yang menawanku, di depan gerbang rumahmu, tempat dimana ayahmu pernah bertukar senyum kepadaku, sebelum dia tahu aku bukan sekedar temanmu.
Berbulan aku menantikan kepastianmu, dan tiada pernah datang yang kutunggui. Oh, Rudyku, kiranya belenggu itu begitu erat mengikatmu. Kau harusnya percaya bahwa tangan – tangan tak terlihat sedang mengikatmu, agar ego masing – masing yang mengikatmu tetap terjaga. Bagaimana harus kujelaskan bahwa ada kuasa hebat yang mempengaruhi benakmu, menyetir di belakang logikamu, dan di lain sisi berusaha menjauhkanmu dariku? Bagaimana caranya agar engkau mengerti bahwa aku mengatakan ini karena begitu murni dan tulusnya aku ingin selamanya hidup bersamamu, alih – alih karena aku mencari – cari pembenaran atas segalanya?
Lampu depan telah padam. Bayangan lampu jalan menyinari sedikit wajah putihmu yang mungil dan haru. Kuseret juga langkahku kepadamu. Hatiku remuk, Rudy-ku.
“Baiklah, aku yang pergi,” kataku, “Namun percayalah, segalanya akan jelas pada waktunya. Aku yang mengalah, bukan karena aku menyisakan sedikit perasaan bersalah kepada Jana, ayahmu, atau siapapun. Aku meninggalkanmu dalam kasihku kepadamu.”
Ya Tuhan, Rudy-ku... Jika aku masih mempertahakanmu dan bersikeras menuntut janjimu, kau akan meregang dan terbelit di dalam ikatan – ikatan itu. Jana yang sedari awal menjalankan black – magic-nya kepadamu, begitu juga dengan ayahmu yang terjerat dalam arus kasih sayang yang begitu salah kepadamu. Juga ibumu, juga Indra, mantan kekasihmu yang tak pernah rela kau tinggalkan.
“Kumohon, bertahanlah, sayang. Aku tak mau kehilangan kau..”
Tidak. Aku menciumi Rudy-ku dan berpaling pergi.
Bersama dingin yang menusuk, aku menyusuri lagi jalan menuju pulang. Jalan – jalan sepi ini serasa asing bagiku, tak perduli sudah berapa kali telah kulewati bersam Rudy-ku. Bayang – bayang malam menampilkan fragmen – fragmen kecil di dalam hidupku yang berawal dengan indah dan sucinya, lalu badai datang menghardik bersama berlalunya senja.
Aku terbayang Bim-ku sayang, detik – detik terakhir kita bersama, dia berbicara tentang kebijakan, tentang cahaya pagi yang datang menggantikan malam. Tentang Tuhan yang baik, yang selalu tergugah melihat manusia teraniaya sesamanya. Di dalam malam yang hening beginilah dia mengatakan semua itu.
Juga, di dalam malam hampa begini, Bim-ku mengisyaratkan sakit yang mencekam, kerudung hitam dan nyanyian burung gagak. Wajahnya makin tergambar jelas kini, seolah dia ada di hadapanku, dan dia membuat air mataku menetes sia – sia bersama hujan yang tak juga mereda. Kulihat Bim termenung di bibir pantai, satu tahun lalu, tak kuasa menahan derita perpisahan, lalu pulang dengan rasa hampa.
Kulihat Bim, terbaring sebentar, dalam ketidakhadiranku, mencari kebijakan yang bisa meredakan amarahnya. Oh, seandainya aku ada di sana. Dia menatapi botol racun di genggamannya itu! Dia menatapnya dengan mata penuh amarah! Dan, aku tiba di hadapannya saat segalanya telah terlambat. Bim-ku hilang tiada kembali.
Bim, jiwamu masih terlalu muda untuk menanggung cengkraman takdir.

-----

Bim-ku, seperti juga Rudy-ku, terikat di dalam jerat yang sama, oleh dunia yang sesekali tak pernah aku percayai ada, namun kadang tampil begitu nyata.
Bimku sayang, kau tidak pernah membunuh dirimu sendiri. Kau dibunuh.


22 Juni 2011
3:14 am.

Minggu, 29 Mei 2011

Anjing

Namanya Ringo. Dibeli di Kintamani, tempat yang secara khusus telah terkenal dengan anjing – anjingnya. Bongki senang bukan kepalang. Baginya, terlepas dari memelihara anjing bukanlah hobinya, setidaknya dia bisa menunjukkan kepada dunia bahwa dia mampu membeli seekor anjing remeh seperti membeli jajanan lima ribuan rupiah.

Kiranya bertambah pula penegasan dirinya di mata masyarakat kelas elit, kelas yang Bongki percayai telah berhasil dia daki dan taklukkan sedari dulu, sejak kehadiran Ringo. Jabatan di pemerintahan yang didapatnya dengan katrolan ratusan juta, mobil mewah yang segera akan lunas masa angsurannya, rumah hunian dengan terali tinggi yang angkuh, kaku, dan memaksakan mata yang melihatnya agar maklum akan apa yang ada di baliknya, istri yang didapatkan dengan cara black magic, semuanya semakin menambahkan bongkah – bongkah permata bagi perhiasan yang dalam kesadaran penuh ditebarkan oleh Bongki,yang empunya perhiasan.

Namun, pandangan setiap orang tidak bisa diseragamkan. Aku percaya ada ketertarikan yang pasti di dunia ini. Segala perihal menarik perihal lainnya yang serumpun. Harum kuntum mawar menarik indera lebah, laron tertarik gemerlapnya cahaya, be guling menarik buyung bangke, begitulah kira – kira.

Dan anjing ini? Apa yang ditariknya dari sekitarnya? Tubuhnya yang kecil – mungil tentu membuat hampir setiap orang yang melihatnya menjadi gemas. Kiranya demikianlah kodrat yang telah digariskan untuk ras anjing: untuk dicintai manusia pada masa mudanya, dan setia kepada tangan – tangan yang memberikannya makan. Kenyataan bahwa hampir semua anjing – anjing itu terlupakan, jika tidak tersingkirkan saat kudis dan kurap mulai menggerogoti badannya hampir menjadi klise dan kodrat akhir bagi sang anjing.

Lalu waktu berjalan merayap. Ringo pelan – pelan makin terabaikan. Tempatnya yang pernah berada di posisi terhormat mulai tergantikan oleh pangkat Bongki yang makin meninggi, sanjungan – sanjungan semu namun sangat berarti bagi Bongki, dan juga adanya interpretasi – interpretasi Bongki yang baru tentang prestise dan harga diri, yakni pergaulan dengan para pemegang kekuasaan, penguasa – penguasa yang sama dengan dirinya, tidak pernah merasa benar – benar berada di dalam puncak sesuatu. Jelas aku perhatikan semua perubahan itu, bahkan jauh sebelum Ringo ada di sana.

Bongki sudah tak seperti dulu lagi, pagi – pagi buta biasanya dia menyeduhkan susu dan menyiapkan roti atau daging buat Ringo. Terkadang, jika waktu memungkinkan, Bongki juga membawa Ringo berjalan – jalan di sekitar perumahan, sambil menunjukkan tampang kebangsawanannya yang tersohor itu. Dan kini, Ringo bahkan harus mengais tong – tong sampah di jalanan dalam keputusasaan.

Aku melihat dari jendela kamarku, Kadang meludah, kadang memaki di dalam hati. Ini kisah ironis yang menunjukkan dirinya setiap hari dan berjalan tepat di depan mataku. Mati sajalah kau, anjing… begitu suara getir di dalam benakku. Makin hari makin bertalu saja kata – kata itu. Makin menggema, merayu tanganku untuk melakukan sesuatu.

Jadi, pada satu hari yang kupilih secara acak, aku benar – benar membunuh anjing itu.

Dan waktu berjalan sewajarnya. Tak ada protes, kecuali dari pihak keluarga Bongki. Selebihnya tidak. Orang – orang pun tidak terlalu perduli.
“Anjing bukan ukuran bagi apapun; Secara prinsipil, kehadirannya memang diperlukan pada masa mudanya, selebihnya tetap bukan apa - apa” demikian kata salah seorang yang mengaku dirinya masyarakat.

Aku pikir, anjing itu, saat mudanya menarik hati. Namun, ketika mulai beranjak dewasa mulai mengikuti naluri rimba. Menggontok anjing – anjing lain yang lebih lemah daripadanya. Bahkan dia juga pinter, seperti tahu strategi perang, untuk mengalahkan lawannya yang dia rasa lebih kuat dia mengajak kawan – kawan anjingnya yang lain untuk bersekutu. Sinting.

“Anjing, asu, suka menjilat, tidak tahu malu dalam meraih sesuatu. Apapun akan dilakukannya untuk memenuhi rasa laparnya akan tulang – belulang. Bahkan, jika terpaksa, disuruh makan tai pun dia mau. Tak ada rasa malu.”

Nah, sampeyan tahu anjing laknat ini penuh dengan tipu – daya. Kalian tahu dia ini kehampaan tak berguna. Bahkan ketika masih laten, masih berupa wujud tanpa raga, aku tahu.

Sampah. Karena itulah aku menyingkirkannya. Meski rasa berdosa ini akan menghantuiku sampai ke liang lahatku, setidaknya aku merasa mewakili sebagian dari pikiran – pikiran kalian yang mungkin tak akan keluar saat anjing itu masih ada dan berbicara di hadapan kalian, menunjukkan diri sebagai hantu sepanjang hari.

Jadi, begitulah.Bongki dikuburkan hari ini. Masyarakat mengantarnya ke pengasingan terakhir dengan wajah tenang – hampa. Ringo juga ada di sana, berdiri di samping pusara, untuk kemudian pergi mengembara, entah kemana lagi mencari makna baru bagi hidupnya.

Aku masih di sini, di sudut jendelaku. Dingin, beku, ingin pergi ke dalam kegaiban. Aku memohon kepada Tuhan, namun Dia tidak mengijinkan.

[DeJa]

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...